KH Mas Mansur – adalah tokoh Muhammadiyah yang mempunyai ibu
Raudhah, adalah seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga pesantren
Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya
bernama KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal
di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi
Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel,
suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya
sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai
Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia
sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan,
Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah
ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua
tahun, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren
itu dan pulang ke Surabaya.
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908,
oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah
pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa Timur.
Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi
memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen, mengeluarkan
instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat
sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir,
karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai
tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap
melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup
karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan
biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan
Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini
berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali
mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada
Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya
membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan.
Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun
pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca
tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya.
Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air,
terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915
dia pulang ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan
puteri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya.
Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah,
Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di samping menikah
dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup
dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada
tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar
negeri ialah bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan
alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir,
yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya
untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin
oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan
revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Di samping itu, Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi
bersama Wahab Hasboellah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala
Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang
diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit
menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir
al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya
mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing.
Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat
keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai
aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah
al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang
bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan
(Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik
dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama
yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat
diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka
berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk
membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur
tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak
mau permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah khilafiyah,
ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansoer dengan
Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas
Mansoer keluar dari Taswir al-Afkar.
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang
berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa.
Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri. Kata santri
digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat
digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang
gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas
Mansoer. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa
dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan
pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya
dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin
untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga
pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan
Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji
Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui
majalah-majalah, Mas Mansoer juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk
buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid
dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif
dalam organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam
dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah.
Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh
keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang
dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang
yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian
menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah
ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun
1937-1943.
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober
1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansoer terpilih sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah
ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar
Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi
persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh
(penyiaran agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa
Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH.
Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja'
sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah
ke-26 di Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak
memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan
Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut
ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes
Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun
ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansoer
(Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansoer menolak, tetapi
setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok
muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah
saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang
progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan.
Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansoer juga banyak
didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya.
Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji, melainkan ia
diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga ia
mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam berorganisasi.
Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya.
Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari
Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan
Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansoer selalu menekankan bahwa
kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus
Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan
perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu
Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak
berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang
disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang
dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan dalam
hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat,
Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram,
tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk
itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia
melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem
yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan
dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam
akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan
tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi
perekonomian ummat Islam.
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga
banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah,
Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik
ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai
melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan
memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim
Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga
memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman
Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas
Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan,
yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar
Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah
ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki
Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap
rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut,
sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat
serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh
benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada
barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia
ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok. Di tengah pecahnya
perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada
tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia
diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH.
Fakhruddin.
(Sumber)
0 komentar:
Post a Comment